“Rumahku Istanaku” simpel sih, kesannya membanggakan milik pribadi, narsistik kebendaan. Tapi, dibalik kalimat sesimpel itu mengandung lebih banyak rasa, rasa syukur, rasa sayang, bangga, kangen, rasa menjaga dan sejuta rasa lain didalamnya. Itulah yang menggambarkan rasa-rasa itu yang saya rasakan saat ini. Rumah yang saya tempati ini memang tidak terlalu lama, yah kira-kira 1,5 tahun lah. Rumah ini saya tempati menjelang wisuda sarjana dan sepanjang pendidikan profesi klinik saya. Tepatnya di Nitiprayan, desa seni di bilangan Ngestiharjo Kasihan Bantul DIY. Tepat di barat Kraton Jogja, dekat dengan kampus terpadu UMY dan pabrik gula Madukismo. Memang sedikit masuk kedalam, namun justru itu uniknya, saya tinggal di kota namun suasana desa. Udara yang sejuk dipagi hari, panas matahari tak terlampau terik di siang hari, temaramnya bulan jelas dimalam hari. Menempatinya bersama Ekoandi, Hendy, Dwi, Edi dan Ekobrek adalah moment kekeluargaan yang seru, serunya sampai berasa sangat singkat disana, sungguh kkebersamaan yang indah. Masih ingat kebiasaan-kebiasaan kita; aku yang hoby nyapu dan ngepel, ekoandi yang hoby bakar sampah, edi yang hoby masak, brek yang hoby pulang pagi, hendy yang hoby nyuci motor dan dwi yang hoby bikin skripsi. Setiap bulan kita dikejar-kejar iuran listrik dan denda ronda. Rumput halaman yang kita biarkan liar. Panen buah-buahan. Pesen lotek atau kupat tahu di sebelah rumah atau susah parkir karena ada pameran seni disamping rumah. Hah semua sudah berakhir kini, entah dimana kalian, entah seperti apa rumah itu sekarang, mungkin lebih terawat atau sebaliknya jadi rumah tua. Yang pasti jika suatu saat saya datang ke Jogja, sebisa mungkin lewat sana untuk hanya sekedar melihat rumah singgah kita yang melahirkan banyak cerita dan cinta. Selamat tinggal rumah indah.